DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................. 1
ABSTRAK .................................................................................. 2
KATA PENGANTAR
..................................................................... 3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 5
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ..................................................................... 5
E. PEMBAHASAN
1. Filsafat Ilmu dan Meta-Science ..................................................... 6
2. Dimensi Aksiologis ..................................................................... 7
3. Etika dan Estetika Keilmuan ......................................................... 8
4. Masalah
Etika dalam Pengembangan Ilmu ................................ 12
5. Aksiologi
dalam Pendidikan......................................................... 10
6.
Fungsi Matematika dalam Aksiologi Pendidikan............................ 11
Kesimpulan ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17
AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
ABTRAK
Makalah ini membahas tentang aksiologi. Dengan
tujuan penulisan adalah untuk
mengetahui dimensi aksiologi dalam
pengembangan ilmu, untuk menganalisis etika dan estetika keilmuan dalam aksiologi, dan untuk
menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi. Adapun
manfaat dari aksiologi adalah dengan untuk mengetahui dimensi aksiologi dalam pengembangan ilmu, untuk menganalisis etika dan estetika keilmuan dalam
aksiologi, dengan menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi menunjukkan
bahwa matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif dan merupakan
bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin
disampaikan.
Kata Kunci : Dimensi aksiologi, etika dan estetika keilmuan, dan fungsi matematika dalam
aksiologi
Makalah mahasiswa Program studi magister
Pendidikan matematika pasca sarjana Unsri 2014
Nama :
Putri Cahyani Agustine
NIM :
06022681419007
Dosen Pengampu : 1. Prof. Dr. Waspada, M.Pd., Ph.D.
2.
Prof. Dr.dr. Nuraini Fauziah, Sp.K.F.R.,M.P.H.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke
Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada
junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati
pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai “Aksiologi dalam Pendidikan” dalam
rangka memenuhi tugas Filsafat Ilmu.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan
sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Palembang, 6
November 2014
Penulis
A. PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu adalah dua kata
yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran
ilmu tidak lepas dari filsafat, dan perkembangan ilmu memperkuat keberadaan
filsafat. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada Dewa diubah
menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Pada penelitian alam jagad raya,
muncullah matematika, astronomi, fisika, dan lain sebagainya. Ilmu – ilmu
tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil,
aplikatif, dan lebih bermakna, serta bermanfaat.
Cakupan obyek filsafat lebih luas
dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang
empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiris.
Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Sebab, dari filsafat-lah,
ilmu – ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati
ilmu sekaligus buahnya, yaitu teknologi.
John Naisbitt (2002: 23) mengatakan
bahwa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai dengan
beberapa indicator, yaitu: (1) masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah
secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi; (2) masyarakat takut dan
sekaligus memuja teknologi; (3) masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang
nyata dan yang semu; (4) masyarakat menerima kekerasan dengan sesuatu yang
wajar; (5) masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan; (6) masyarakat
menjalankan kehidupan yang berjarak dan terenggut. Ilmu dan teknologi dalam
konteks tersebut kehilangan ruhnya yang fundamental karena manusia tanpa sadar
menjadi budak ilmu dan teknologi. Diperlukan suatu pandangan yang komprehensif
tentang ilmu dan nilai – nilai yang berkembang di tengah masyarakat.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang
paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain, karena manusia
diberikan daya berpikir. Daya pikir inilah yang menemukan teori – teori ilmiah
dan teknologi. Secara kodrati, manusia dianugerahi akal, daya pikir, yang tidak
diperoleh oleh makhluk lain, yang dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk
kemampuan berpikir tersebut. Filsafat merupakan sarana yang baik untuk memahami
bagaimana cara berpikir tersebut. Filsafat di bidang sains tumbuh dari positivism,
post positivism, post modernism, yang mendeskripsikan relasi normative
antara hipotesis dengan evidensi, dan berupaya menjelaskan berbagai fenomena
kecil atau besar secara sederhana (Noeng Muhadjir, 2001: 1).
B. RUMUSAN
PENULISAN
Pada makalah ini pemakalah mengajukan beberapa rumusan
masalah yaitu :
1. Bagaimana dimensi aksiologi dalam pengembangan ilmu
?
2. Apakah etika dan estetika keilmuan dalam
aksiologi ?
3. Bagaimanakah fungsi matematika dalam aksiologi ?
C. TUJUAN
PENULISAN
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui dimensi aksiologi dalam
pengembangan ilmu.
2. Untuk
menganalisis etika dan estetika
keilmuan dalam aksiologi.
3. Untuk
menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi.
D. MANFAAT
PENULISAN
Dari Tujuan penulisan di atas, maka manfaat penulisan
makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui dimensi aksiologi dalam
pengembangan ilmu.
2. Untuk
menganalisis etika dan estetika
keilmuan dalam aksiologi.
3. Dengan
menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi menunjukkan bahwa matematika
adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif dan merupakan bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan.
E.PEMBAHASAN
1. Filsafat Ilmu dan Meta-Science
Sumber dari filsafat adalah manusia,
dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat yang berusaha keras dengan
sungguh – sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh kebenaran
(Susanto, 2011: 1). Menurut Noeng Muhadjir (2001: 11), obyek studi filsafat
ilmu setidaknya ada dua yang substantif dan dua yang instrumentatif. Dua yang
substantive adalah kenyataan dan kebenaran, sedang dua yang instrumentatif
adalah konfirmasi dan logika inferensi. Bagi positivistik, yang nyata itu yang
factual ada; sedang bagi rasionalistik, yang nyata ada itu yang ada dan cocok
dengan akal; bagi realism, yang nyata itu yang riil eksis, dan terkonstruk
dalam kebenaran obyektif, sedangkan bagi pendekatan phenomenologik, kenyataan
itu terkonstruk dalam moral.
Fungsi ilmu adalah menjelaskan,
memprediksi proses dan produk yang akan dating atau memberi pemaknaan. Membuat
penjelasan, memprediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar kepastian
probabilistic dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
Dikenal pula pembuktian apriori dan aposteriori dalam pembuktian, namun tidak
tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang aposteriori. Bila ilmu
dikembangkan sampai kepada metascience, metaideologi, dan metafisik,
bisa menggunakan logika paradigmatik dengan ragam pola pikir terutama yang
divergen atau horizontal, serta mengembangkan pemaknaan menjangkau kebenaran
etik dan transenden (Noeng Muhadjir, 2001: 14).
Lebih lanjut Noeng Muhadjir
menjelaskan bahwa makna pada desain realism metafisik merentang dari pencarian
bukti sensual, logic, etik yang kesemuanya itu berada dalam ranah transenden.
Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menggembirakan, yang memberi sukses,
dibalik yang nampaknya memberi duka atau mengecewakan. Sedangkan rahmah adalah
ketika kita ikhlas dan tawakkal serta menyerahkan keadilan pada Tuhan. Usaha
yang kita lakukan dengan tetap gigih, tidak tahu kapan kita meninggal, dan
kapan kita sukses, menjadikan kita tidak risau akan lebih memberi hikmah dan
rahmah kepada kita (Noeng Muhadjir, 2001: 270).
2. Dimensi Aksiologis
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan kaidah – kaidah yang harus
diperhatikan dalam menerapkan ilmu ked lam praktis. Aksiologi memuat pemikiran
tentang masalah nilai – nilai termasuk nilai – nilai tinggi dari Tuhan.
Aksiologi juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher
values of life (nilai – nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Filsafat
ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal – hal persepsi manusia akan
kenyataan, pemahaman berbagai dinamika alam, saling keterkaitan antara logika
dan matematika, berbagai keadaan dari keberadaan – keberadaan teoritis,
berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya, hakikat manusia,
nila - nilainya yang berada di lingkungan dekatnya( Susanto, 2010: 117).
Beberapa definisi tentang aksiologi yaitu
teori tentang nilai (Burhanudin Salam, 1997: 168), teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh ( Jujun, 2000: 234). Permasalahan
yang muncul dalam aksiologi adalah masalah tentang nilai, yaitu sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai pada filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Conny R Semiawan (2005: 158)
menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan
(kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai
prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang disebut dengan
moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian.
Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero
tolerance. Hal ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta.
Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi.
3. Etika dan Estetika Keilmuan
Makna etika dipakai dalam dua bentuk
arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan. Kedua, merupakan suatu predikat yang
dipakai untuk membedakan hal – hal, perbuatan – perbuatan, atau manusia –
manusia lain. Nilai itu objektif atau subjektif adalah sangat tergantung dari
hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif,
apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok
ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat fisik atau psikis (Susanto, 2010: 118). Nilai itu objektif, jika ia
tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul
karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang
memiliki kadar secara realitas benar – benar ada (Irmayanti, 2001: 23).
Tentang nilai dalam ilmu
pengetahuan, seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen – eksperimen. Kebebasan inilah
yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan
bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. NIlai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dan tidak terikat nilai – nilai subjektif. Bagi ilmuwan, kebenaran
ilmiah adalah hal yang sangat penting (Amsal Bahtiar, 2011: 167).
Pokok persoalan dalam etika
keilmuwan selalu mengacu pada elemen – elemen kaidah moral, yaitu hati nurani,
kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik
(kegunaan). Hati nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk
yang dihubungkan dengan perilaku manusia. Nilai dan norma yang harus berada
pada etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral, dan penerapan ilmu
pengetahuan yang telah dihasilkan harus memperhatikan nilai – nilai
kemanusiaan, social, dan agama (Amsal Bahtiar, 2011: 171).
Tanggung jawab seorang ilmuwan di
bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh.
Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang
menjadi konteksnya tersebut.
Mengenai estetika, Semiawan (2005:
159) menjelaskan sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang
mempelajari tentang keindahan seni. Estetika membantu mengarahkan dalam
membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat
dengan mudah dipahami oleh khalayak luas, dan juga berkaitan dengan kualitas
dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu. Dalam
banyak hal, satu atau lebih sifat – sifat dasar sudah dengan sendirinya
terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila sudah lengkap mengandung sifat –
sifat dasar pembenaran, sistemik, dan intersubjektif (Susanto, 2011: 119).
Lebih lanjut Susanto menjelaskan
bahwa salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu adalah bahwa ilmu harus
berlaku secara umum, lintas ruang dan waktu. Namun, ternyata sifat – sifat
universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan sifat ini lebih nyata pada
beberapa bidang ilmu tertentu. Keterbatasan sifat universal berkaitan erat
dengan karakter universalnya. Ada perbedaan karakter ilmu – ilmu social dengan
ilmu – ilmu eksakta. Fenomena dalam ilmu sejarah sangat bergantung dengan ruang
dan waktu, sedangkan fenomena mekanika terbebas dari ruang dan waktu.
Pengetahuan ilmiah itu bukan saja dimengerti artinya, tetapi juga maknanya.
Jadi memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan
cukup besar.
4. Masalah Etika dalam Pengembangan Ilmu
Ilmu dalam pengembangannya sering
menggunakan values praktis, trial and error, yang menjadi masalah
adalah apabila error itu tidak memberi akibat fatal, masih dapat
ditolerir. Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar eksperimentasi dalam
pengembangan ilmu. Etika ilmu merupakan acuan moral bagi pengembagan ilmu, yang
dapat berupa visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral dalam
pengembangan ilmu (Noeng Muhadjir, 2001: 272).
Kemajuan ilmu dan teknologi dari
masa ke mas adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain.
Melihat sejarah perkembangan ilmu zaman kontemporer, adalah mengamati
pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari rentetan sejarah ilmu
sebelumnya.
Perkembangan ilmu di zaman modern, ditandai dengan berkembangya dekonstruksi
teori – teori yang dianggap apan pada masa pertengahan atau zaman klasik. Pertama,
Copernicus (1473 – 1543) yang memperkenalkan teori heliosentris yang
menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, dan planet – planet berputar
mengelilingi bumi. Hal ini bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, geosentris,
yang menyatakan bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya. Kedua,
metode induktif yang diperkenalkan oleh Francis Bacon (1560 – 1626), yang telah
memberikan sumbangan yang penting dalam menembus metode berpikir deduktif yang
penggunaannya secara berlebihan telah menyebabkan dunia keilmuan mengalami
kemacetan. Francis Bacon menganjurkan dalam menuntut ilmu, mengumpulkan
sebanyak mungkin fakta pengalaman untuk selanjutnya dianalisis (Amsal Bahtiar,
2011: 70).
5. Aksiologi
dalam Pendidikan
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan atau studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai. Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan atau studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai. Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Aliran filsafat progressivisme
Aliran
ini telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia pendidikan karena
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik, (Hamdani,
1993:146). Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang
otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan
potensinya. Untuk itu pendidikan sebagai
alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru yang memberikan warna
dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi yang tercipta secara
edukatif.
2.
Aliran essensialisme
Aliran
ini berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang
telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah
teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern
sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang
diwariskan itu (Sahabuddin, 1997:191).
3.
Aliran perenialisme
Aliran
ini berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh
seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan
yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.
4.
Aliran rekonstruksionisme
Aliran
ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga
dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja
sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah
suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan
dunia yang dikuasai oleh suatu golongan.
6.Fungsi Matematika
dalam Aksiologi Pendidikan
A.Matematika sebagai Ilmu Pengetahuan
Matematika sebagai ilmu dasar,
dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika sebagai pengembangan
aljabar maupun statistic. Filosofi modern juga tidak akan tepat bila tidak
dilandasi pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam ilmu social juga
dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric,
ekonometri, dan sebagainya. Jujun S Sumantri (2001: 229) mengatakan bahwa
matematika mempunyai fungsi yang sama luasnya dengan fungsi bahasa yang
berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan kegiatan
ilmiah secara lebih baik, diperlukan sarana berpikir. Penguasaan sarana
berpikir ini merupakan suatu hal yang bersifat imperative bagi seorang ilmuwan, karena tanpa menguasainya maka
kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan. Sarana berpikir ini pada
dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah
yang harus ditempuh. Oleh karena itu, sebelum memperlajari sarana – sarana
berpikir ilmiah seharusnya menguasai langkah – langkah dalam kegiatan ilmiah
tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka
diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa
merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir
ilmiah. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan
induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif,
sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif (Amsal
Bahtiar, 2011: 188).
B. Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang akan
disampaikan. Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan, dan untuk menutupi
kekurangan bahasa vaerbal, digunakanlah matematika, karena matematika adalah
bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari
bahasa verbal.
Lambang – lambing dari matematika
yang dibuat secara artificial dan individual yang mengrupakan perjanjian yang
berlaku khusus untuk masalah yang dikaji. Matematika mempunyai kelebihan lain
dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numeric yang
memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dalam bahasa
verbal, bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan
semut. Akan sulit membandingkan keduanya. Jika ingin mengetahui secara eksak
berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, dengan bahasa verbal tidak
dapat dikatakan apa – apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengatakan
pernyataan yang bersifat kualitatif. Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh
bahasa verbal tidak bersifat eksak, sehingga menyebabkan daya prediktif dan
control ilmu kurang cepat dan tepat. Untuk mengatasinya, dikembangkan konsep
pengukuran. Melalui pengukuran, kita dapat mengetahui dengan tepat berapa
panjang sebuah logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu
dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini, maka pernyataan ilmiah yang merupakan
pernyataan kualitatif “sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang”, dapat
diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak, umpamanya Pt = Po(1 + xt),
dengan Pt adalah panjang logam pada temperature nol dan x adalah
koefisien pemuaian logam.
Sifat kuantitatif dari matematika
ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban
yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih
tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami prkembangan dari tahap
kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative
bila kita menghendaki daya prediksi dan control yang lebih tepat dan cermat
dalam ilmu (Amsal Bahtiar, 2011: 191).
C. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif.
Istilah deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah – masalah yang dihadapi
tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat dalam ilmu – ilmu
empiric, melainkan didasarkan atas deduksi – deduksi (penjabaran). Dewasa ini
yang paling banyak dianut orang adalah bahwa deduksi merupakan penalaran yang
sesuai dengan hukum – hukum serta aturan – aturan logika formal. Orang
beranggapan bahwa tidaklah mungkin titik tolak yang benar menghasilkan
kesimpulan yang tidak benar.
Matematika merupakan pengetahuan dan
sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa artificial
(bahasa buatan). Keistimewaan bahasa ini adalah terbebas dari aspek emotif dan
afektif serta jelas kelihatan bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan
bentuk logisnya. Pernyataan – pernyataannya mempunyai sifat yang jelas. Pola
berpikir deduktif banyak digunakan baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain
yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis –
premis yang kebenarannya telah ditentukan. Kesimpulan yang ditarik dalam
pemikiran deduktif merupakan konsekuensi logis dari fakta – fakta yang
mendasarinya, yang disebut dengan silogisme, sebagai perwujudan pemikiran
deduktif yang sempurna.
D. Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Social
Matematika merupakan salah satu
puncak kegemilangan intelektual. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam
perkembangan berbagai macam ilmu pengetahuan. Perhitungan matematis menjadi
dasar ilmu teknik, memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang social dan
ekonomi, bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada kegiatan
arsitektur dan seni rupa.
Kontribusi matematika dalam
perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan lambang – lambang
bilangan untuk penghitungan dan pengukuran. Hal ini sesuai dengan objek ilmu
alam, yaitu gejala – gejala alam yang dapat diamati dan dilakukan penelaahan
yang berulang – ulang. Sedangkan ilmu – ilmu social dapatditandai oleh
kenyataan bahwa kebanyakan dari masalah yang dihadapinya tidak mempunyai
pengukuran yang mempergunakan bilangan dan pengertian tentang ruang adalah sama
sekali tidak relevan.
E. Logika Matematika
Logika adalah sarana untuk berpikir
sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir
logis adalah berpikir sesuai aturan – aturan berpikir, seperti setengah tidak
lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat dijalankan semaunya. Realitas
begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis – jenis
pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu,
karena pikiran kita tunduk pada hukum – hukum tertentu. Sebagai perlengkapan
ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat
menyelesaikan fungsinya dengan baik, lebih – lebih dalam hal yang biasa,
sederhana, dan jelas. Namun tidak demikian halnya apabila menghadapi hal – hal
yang sulit, harus dilakukan pemikiran yang mendalam sebelum mencapai
kesimpulan.
Amsal Bahtiar mengatakan bahwa
belajar logika ilmiah perlu menegtahui beberapa hal, diantaranya: (1) Dalam
praktik, menjadi cakap dan cekatan, berpikir sesuai dengan hokum dan prinsip,
bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses
perubahan keadaan. Logika jangan hanya dijadikan mekanik dan dikembangkan
kesanggupan mengadakan eavluasi terhadap pemikiran orang lain dan sanggup
menunjukkan kesalahannya. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk
menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis. (2) Sanggup mengenali jenis – jenis,
macam – macam, nama – nama, sebab – sebab kesalahan pemikiran, dan sanggup
menghindari, serta menjelaskan segala bentuk dengan segala sebab kesalahan
dengan semestinya.
F. Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, dan
Matematika
Untuk dapat melakukan kegiatan
berpikir ilmiah dengan baik, diperllukan sarana yang berupa bahasa, logika, dan
Matematika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berpikir ilmiah. Bahasa merupkan alat berpikir dan alat komunikasi untuk
menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Bahasa merupakan sarana komunikasi,
maka segala sesuatu yang berhubungan dengna komunikasi tidak terlepas dari
bahas, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu pengetahuan. Tanpa
menguasai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan ilmiah
secara sistematis dan teratur.
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir yang membuahkan pengetahuan. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap
valid, apabila dilakukan menurut cara yang benar. Cara penarikan kesimpulan ini
dinamakan logika. Logika adalah pengkajian untuk berpikir secara sohih. Logika
induktif erta hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus khusus ke
kasus umum. Sedangkan logika deduktif membantu dalam menarik kesimpulan dari
hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai
dengan mengemukakan pernyataan – pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas
dan terbatas menyususn argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan bersifat
umum. Deduksi bersifat sebaliknya, menggunakan cara berpikir yang disebut
silogisme. Pernyataan yang mendukukng silogisme dibedakan menjadi premis mayor
dan premis minor. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif,
dan merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makan dari pernyataan yang
ingin disampaikan.
F. KESIMPULAN
Dari pembahasan, maka kesimpulan penulisan makalah ini
adalah :
1. Dengan
mengetahui dimensi aksiologi dalam
pengembangan ilmu menunjukkan bahwa Cakupan obyek filsafat lebih luas
dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang
empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiris.
Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu.
2. Dengan menganalisis
etika dan estetika keilmuan
dalam aksiologi menunjukkan bahwa fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi
proses dan produk yang akan datang atau memberi pemaknaan bahwa etika sebagai
prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang disebut dengan
moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Hal
ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi
oleh prinsip toleransi.
3. Dengan
menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi menunjukkan bahwa Matematika
sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika
sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Matematika dalam ilmu sosial
juga dikembangkan sebagai sosiometri,
psychometric, ekonometri, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bahtiar. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rajawali Press.
A Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologism,
Epistemologism, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Irmayanti Budianto. 2001. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan:
REfleksi Kritis atas Kerja Ilmiah. Depok: FAkultas Sastra UI.
Jujun Sumantri. 2000. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Naisbitt, John. Et. All. 2002. High Tech High Touch. Jakarta:
Pustaka Mizan.
Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat ilmu positivism, postpositivism, dan
postmodernism. Yogyakarta: Rakesarasin.
Redja Mudyaharja. 2001. Filsafat Ilmu pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sudharsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta:
Rineka Cipta.
http://wfitriyani83.blogspot.com/2012/11/telaah-aksiologi-etika-dalam.html, (diakses Rabu,5
November 2015 pukul 10.10 WIB)
No comments:
Post a Comment